Resiliensi Penyandang Paraplegia Korban Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Bantul Tahun 2006

Oleh: Dr. Astri Hanjarwati, S.Sos., M.A.,

Kabupaten Bantul, salah satu Kabupaten di Yogyakarta merupakan salah satu Kabupaten rawan bencana. Pengetahuan ini tentu sebaiknya diketahui oleh masyarakat khususnya di Kabupaten Bantul, supaya mereka memiliki proteksi sejak dini. Potensi bencana yang terjadi di Kabupaten Bantul antara lain ialah Geologi yakni berupa Gempabumi & Tsunami serta Hidrometerelogi berupa banjir, cuacaekstrim & kebakaran.

Tercatat tahun 2016, gempa bumi yang menimpa Kabupaten Bantul dengan skala (5,9 SR, korban meninggal dunia sebanyak 6.234 jiwa (Dinas Sosial, 2008). Mereka yang mengalami difabel pasca gemba ada 889 jiwa yakni dengan rincian Penyandang paraplegia sebanyak 424 jiwa & kehilangankaki serta tangan sebanyak 465 jiwa (Dinas Sosial, 2008). Jumlah terbanyak penyandang paraplegia terdapat di Kec. Sewon, Bambanglipuro, Jetis, Piyungan, Pundong, Pleret(124 Jiwa) (Dinas Sosial, 2008).

Dalam disertasi yang ditulis oleh Dr. Astri Hanjarwati, ia meneliti mengenai resiliensi penyandang paraplegia korban bencana gempa bumi Bantul tahun 2006 menggunakan pendekatan kajian geografi. Kajian ini berfokus pada manusia yaitu penyandang paraplegia.Perbedaan dan kebaruan (novelty) dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada subjek penelitiannya yaitu difabel baru.

Difabel baru ini merupakan masyarakat korban gempa bumi Bantul tahun 2006 yang mengalami cedera tulang belakang dan sekarang menjadi penyandang paraplegia. Lokasi penelitian berada di enam kecamatan dengan jumlah penyandang paraplegia terbanyak. Kecamatan sebagai lokasi penelitiannya antara lain yaitu Piyungan, Bambanglipuro, Jetis, Sewon, Pundong, dan Pleret.

Populasi penyandang paraplegia di enam kecamatan 124 orang, dan diambil sampel dengan metode stratified random sampling sebanyak 44 orang (kuesioner). Wawancara mendalam kepada 10 orang keluarga penyandang paraplegia. Analisis yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif terhadap data hasil kuesioner, wawancara mendalam, hasil pengamatan, dan data sekunder.

Menurutnya, penelitian ini memiliki empat tujuan. Pertama, menganalisis faktor-faktor yang menjadi penyebab korban bencana gempa bumi menjadi penyandang paraplegia. Kedua, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi/ketahanan penyandang paraplegia pasca bencana gempa bumi Bantul tahun 2006. Ketiga, menganalisis perbedaan kondisi aset penghidupan sebelum bencana, sesaat setelah bencana dan kondisi saat ini berdasarkan konsep dari DFID (Departementfor International Development) livelihoodAnalysis. Keempat, menganalisis distribusi spasial rumah penyandang paraplegia berdasarkan pada kelas kerawanan gempa bumi yang telah disusun oleh Pusat Studi Bencana UGM.

Hasil penelitian yang menjadi novelty/kebaruan dan melengkapi penelitian sebelumnya adalah pertama, menjadi penyandang paraplegia merupakan sebuah risiko, risiko tidak hanya ditentukan oleh ancaman, kerentanan dan kapasitas, tetapi juga ditentukan oleh respon. Kedua, penelitian ini membenarkan bahwa langkah penyelamatan dengan metode segitiga kehidupan terbukti mampu menyelematkan jiwa dari kematian, namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu terluka parah pada bagian tubuh selain kepala.

Ketiga, Resiliensi pada penyandang paraplegia dicapai melalui 4 fase yaitu: fase stress, fase penerimaan diri dan adaptasi, fase pengembangan diri/peningkatan kapasitas dan fase resilien (mandiri dalam mobilitas, produktif dan bersosialisasi. Keempat, Faktor penentu resiliensi penyandang paraplegia yang berbeda dengan penelitian sebelumnya adalah faktor aksesibilitas dan faktor adaptasi. Kelima, Pola-pola adaptasi penyandang paraplegia adalah penyandang paraplegia yang tergantung dengan keluarga, penyandang paraplegia yang mandiri dan penyandang paraplegia yang mandiri dan produktif.

Keenam, aset penghidupan penyandang paraplegia yang mengalami kenaikan yaitu modal sosial, sedangkan modal manusia, modal fisik dan modal keuangan mengalami penurunan. Terakhir, distribusi rumah penyandang paraplegia berada di wilayah sangat rawan dan rawan dengan rata-rata jarak terdekat dengan sesar yaitu 1,02 km dan terjauh 7 km.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler