Dilihat 0 Kali

07_386_WhatsApp Image 2025-09-10 at 10.01.23.jpeg
FISHUM UIN Sunan Kalijaga Teguhkan Komitmen Kesetaraan Gender dalam Seminar Nasional

Selasa, 09 September 2025 10:02:00 WIB

FISHUM UIN Sunan Kalijaga Teguhkan Komitmen Kesetaraan Gender dalam Seminar Nasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menegaskan kembali perannya sebagai garda depan pengarusutamaan isu kesetaraan gender dengan menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Rethinking About Gender: Breaking Stereotypes, Building Understanding”, Selasa (9/9/2025) di Aula Convention Hall lantai 2. Kegiatan yang menjadi rangkaian Dies Natalis FISHUM ini menghadirkan tokoh akademik, sastrawan, aktivis gender, dan segenap sivitas akademika yang bersama-sama mengupas ulang makna kesetaraan gender dalam bingkai humaniora di era digital.

Acara dibuka oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, yang dalam sambutannya menekankan bahwa kampus ini telah lama menjadi pionir dalam perjuangan gender equality di Indonesia. “Sejak dekade 1990-an, para dosen kita sudah berani mengartikulasikan pentingnya kesetaraan gender dalam ruang akademik maupun sosial. Isu ini bukan tren, melainkan bagian integral dari tradisi intelektual UIN Sunan Kalijaga,” ujarnya.

Lebih jauh, Prof. Noorhaidi mengungkapkan kegelisahannya terhadap kecenderungan sebagian pemikir yang mengaitkan problem ketidakadilan gender di masyarakat Muslim dengan doktrin agama secara simplistis. Menurutnya, praktik sosial seperti ketidaksetaraan pendidikan, rendahnya akses ekonomi, dan diskriminasi gender juga terjadi di belahan dunia lain, tanpa selalu dikaitkan dengan agama mereka. Ia menekankan perlunya analisis yang lebih luas, yang memasukkan dimensi ekonomi, kesehatan, hingga politik global dalam membaca realitas gender. “Membicarakan gender tidak cukup berhenti pada teks agama semata, melainkan harus melihat konteks sosial yang lebih kompleks,” jelasnya.

Dalam refleksi akademisnya, Prof. Noorhaidi juga menyinggung khazanah fikih abad pertengahan yang dibentuk dalam konteks masyarakat monarki patriarkis. Ia mengajak audiens untuk lebih arif menilai praktik hukum Islam masa lalu, dengan mempertimbangkan dimensi historis, sosiologis, dan politik yang membentuknya. Dengan demikian, menurutnya, penilaian kita akan lebih proporsional dan tidak terjebak pada dikotomi kuno-modern. “Pernikahan dalam fikih, misalnya, secara normatif adalah perjanjian bermitra antara laki-laki dan perempuan dengan prinsip resiprokal. Di situ kita bisa melihat benih kesetaraan,” pungkasnya.

Sesi materi semakin menguat dengan kehadiran Nur Hasyim, fasilitator gender dan pemerhati kajian maskulinitas. Ia memaparkan data mengejutkan bahwa 90 persen perempuan korban kekerasan memilih bertahan meski mengalami luka fisik maupun psikis. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan perlunya strategi baru dalam pencegahan kekerasan berbasis gender. “Tidak cukup mendampingi korban. Kita juga harus mengedukasi laki-laki, membongkar norma maskulinitas yang toksik, serta memberi ruang agar laki-laki tidak terjebak dalam standar patriarki yang merugikan semua pihak,” tegasnya. Ia menambahkan, sistem patriarkis tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga menjebak laki-laki untuk selalu tampil dominan, kuat, dan tidak rentan. Konsekuensinya, banyak laki-laki terjebak dalam kesepian, depresi, hingga krisis kesehatan mental.

Pandangan kritis juga datang dari sastrawan sekaligus sosiolog, Okky Madasari. Ia menekankan bahwa stereotip tentang kelemahan perempuan terbantahkan oleh fakta-fakta sosial: dari konsistensi Maria Sumarsih dalam Aksi Kamisan, perjuangan Suciwati Munir, hingga kepemimpinan Sukinah dalam gerakan Kendeng. Menurut Okky, keberanian perempuan bersuara di ruang publik sering kali dibayar mahal dengan stigma, dianggap emosional, tidak rasional, bahkan dicap menyimpang. “Selama ruang publik, forum akademik, hingga karya sastra masih bias dan maskulin, maka pengetahuan yang lahir akan timpang,” tegasnya.

Dalam paparannya, Okky juga menyoroti representasi perempuan dalam media dan sastra yang sering terjebak pada konstruksi patriarkis. Ia mengingatkan, tidak semua karya yang menampilkan sosok perempuan otomatis berpihak pada kepentingan perempuan. Sebaliknya, banyak karya yang justru mereproduksi citra perempuan sebagai objek emosional atau konsumtif. Narasi semacam ini, menurutnya, terus diwariskan lintas generasi dan memperkuat marginalisasi. Ia juga mengkritisi tren feminine energy dalam konten digital yang menormalisasi ketergantungan perempuan pada laki-laki, sehingga akses ekonomi dan ruang kepemimpinan perempuan semakin terbatas.

Dekan FISHUM, Prof. Dr. Erika Setyanti Kusumaputri, menegaskan bahwa seminar ini sejalan dengan misi fakultas untuk terus menghadirkan humaniora yang relevan dengan tantangan zaman. “Isu gender bukan hanya persoalan akademik, melainkan perjuangan kemanusiaan. Seminar ini adalah wujud nyata FISHUM untuk membangun jembatan kultural dan intelektual, membongkar stereotip yang mengekang, serta memperkuat pemahaman kesetaraan dalam bingkai nilai-nilai humaniora,” ungkapnya.

Atmosfer seminar semakin hidup dengan antusiasme mahasiswa FISHUM yang terlibat aktif sebagai panitia maupun peserta. Bagi mereka, isu kesetaraan gender tidak sekadar bahan kajian, tetapi juga pengalaman sosial yang harus diperjuangkan bersama. Kehadiran mahasiswa dalam forum ini mencerminkan bahwa generasi muda tidak tinggal diam, melainkan siap menjadi agen perubahan yang kritis, inklusif, dan berani menantang stereotip.

Dengan menghadirkan pemikiran kritis dari akademisi, aktivis, dan sastrawan, seminar nasional ini menjadi ruang refleksi sekaligus afirmasi bahwa FISHUM UIN Sunan Kalijaga konsisten menempatkan isu kesetaraan gender sebagai bagian dari perjuangan humaniora. Lebih dari itu, acara ini mempertegas bahwa perguruan tinggi bukan hanya pusat produksi ilmu pengetahuan, tetapi juga pusat perjuangan nilai-nilai kemanusiaan yang adil, setara, dan beradab.