Bekerjasama dengan JAKDI, SEMA FISHum adakan Diskusi Soal Perpu

Sesi Foto Bersama
Akhir-akhir ini publik di buat gaduh dengan munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau sering disingkat Perpu. Perpu yang muncul menyangkut banyak hal yang mulai dari sektor publik termasuk kedalam ranah rumah tangga. KPK sebagai lembaga independen menjadi sorotan utama yang membuat penolakan terkait RUU KPK. Puncaknya adalah muncul gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai kalangan termasuk mahasiswa. Sebagai mahasiswa sangat penting untuk mengetahui substansi dari setiap permasalahan yang terjadi agar tidak hanya menjadi pengekor.
Dengan mempertimbangkan pentingnya pemahaman ini, Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang bekerja sama dengan JAKDI (Jaringan Aktivis Demokrasi Indonesia) menggelar diskusi publik bertema Peran Akademisi Dalam Menyikapi Polemik Perpu yang bertempat di Ruang Interactif Center (IC) Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Jum’at, 18 Oktober 2019 dan di hadiri lebih kurang 200 peserta dari berbagai Universitas di Jogja.
Sambutan pertama di sampaikan oleh Muhammad Wafi Selaku ketua SEMA Fishum yang memberikan ucapan terima kasih kepada JAKDI (Jaringan Aktivis Demokrasi Indonesia) yang sudah mengawal demokrasi di Indonesia dan kita mempunyai kesamaan visi untuk mengawal jalannya demokrasi serta mampu mengedukasi polemik perpu yang ada.
Taufik Hidayat selaku ketua JAKDI memaparkan akan pentingnya mahasiswa terutama aktivis untuk berperan aktif dalam mengawal demokrasi di Indonesia.Kegelisahan-kegelisahan tersebut ditangkap danpada akhirnya melahirkan organisasi ini yang di inisiatori oleh para mahasiswa.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si., menyatakan bahwa banyak faktor yang membuat undang-undang kita buruk, kadang-kadang UUD tidak sejalan dengan UUD 1945. Beliau memaparkan diskusi ini sangat menarik dan sebagai akademisi harus terlibat dengan kebangsaan karena kita adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang perlu keterlibatan secara serius dalam permasalahan bangsa.
Selaras dengan tema diskusi publik kali ini, Hendi Muhaimin memberikan pemikiran tentang The Third Way atau pilihan jalan ketiga yang menjelaskan landasan peran akademik menyikapi Perpu. Beliau memaparkan bahwa pada saat ini para akademisi berada pilihan yang sulit antara mengkritisi atau tunduk terhadap peraturan yang ada. Oleh karenanya dengan adanya pemahaman yang menjelaskan posisi akademisi membuat mahasiswa khususnya tidak terombang ambing di tengah-tengah demokrasi Indonesia. Lebih dari itu akademisi juga harus mengkritisi kinerja anggota dewan.
Aktivis LBH Aksa Bumi, Nehru Asykin mengatakan Perpu itu seperti emergency exit yang memiliki keterbatasan yaitu demokrasi prosedural dan kekosongan hukum. Akademisi memiliki produk hukum yaitu partisipasi masyarakat dan aspirasi masyarakat. Sebagai aktivis, Nehru juga mengkritisi bahwa perpu terkadang menjadi alat untuk pelegalan tindakan semena-mena kepala negara ataupun kepala daerah.
Akademisi di lingkungan UIN, Ali Usman mepertanyakan akan pentingnya RUU KPK, selanjutnya beliau menjabarkan sejarah mula perpu, dasar perpu dan data objektif untuk menciptakan Perpu. Perpu di masa jokowi juga tidak lepas dari perhatian karena dimasa kepemimpinan banyak muncul perpu termasuk yang paling kontroversional yang terkait tentang KPK. (Nur Hadi Prabawa)