Seminar Series: Menciptakan Budaya nir-Kekerasan Seksual di Kampus

Menciptakan budaya nir-kekerasan seksual di kampus merupakan suatu tujuan penting yang harus dikejar oleh institusi pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Latar belakang penciptaan budaya ini melibatkan berbagai faktor yang menciptakan kebutuhan untuk mengatasi masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus. Data menunjukkan bahwa tingkat kekerasan seksual di kampus, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, dan pelecehan verbal, masih sangat tinggi. Hal ini menciptakan kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, Kekerasan seksual dapat memiliki dampak psikologis yang serius pada korban, termasuk gangguan stres pasca-trauma, depresi, dan kecemasan. Hal ini dapat mengganggu kesejahteraan mahasiswa dan kemampuan mereka untuk belajar.

Menanggapi hal ini, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) bekerjasama dengan Pusat Layanan Terpadu (PLT) UIN Sunan Kalijaga mengadakan Seminar Series dengan Tema: “Menciptakan Budaya Nir-Kekerasan Seksual di Kampus”. Acara ini berlangsung secara hybrid di Conference Room lt.1 FISHUM UIN Sunan Kalijaga dan Zoom Meeting pada Rabu, 25 Oktober 2023.

Andayani, S.IP., M.S.W. Ketua PLT UIN Sunan Kalijaga dalam sambutannya mengapresiasi semangat dari panitia penyelenggara termasuk FISHUM. “Secara Khusus saya ingin mengapresiasi teman-teman panitia. Tahun ini merupakan ketiga kalinya FISHUM menyelenggarakan seminar dengan tema isu kekerasan seksual di lingkungan kampus,” jelasnya. Beliau menjelaskan bahwa setelah melakukan sosialisasi dan membuat SOP ternyata banyak kasus yang dilaporkan serta naik 5 kali lipat yang dilaporkan ke PLT. “Tantangan bagi kami di PLT, pastinya banyak kirtik dan tidak mudah menghadapi tantangan serta dinamika yang ada,” imbuhnya. Beliau juga berharap melalui PLT, UIN Sunan Kalijaga bisa terus menjadi inisiator dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terutama di lingkungan kampus.

Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si. Dekan FISHUM UIN Sunan Kalijaga juga mendukung adanya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. “Kekerasan ini bisa dilakukan sangat halus. Ini juga berhubungan dengan relasi kuasa. Oleh karena itu, kalau tidak dilakukan bersama-sama, itu tidak mungkin. Kalau ada Perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan tidak ditangani maka resikonya jangka Panjang,” jelasnya saat sambutan.

Beliau juga menyampaikan bahwa peran Dosen Pembimbing Akademik (DPA) menjadi penting dalam hal ini. “Kita harus betul-betul serius mengatasi problem ini. Jangan sampai kita dijebak oleh aktor-aktor yang merancang itu. Maka harus mempelajari betul tentang relasi kuasa. Mahasiswa harus dekat dengan mahasiswanya. Karena problem psikologis itu seringkali karena tidak dekat, jadi kalau DPA tidak berfungsi maka informasi keluhan mahasiswa juga tidak hidup. Hidupkan Pola relasi yang baik dengan DPA masing-masing. Keluh kesah bisa disampaikan ke DPA, kemudian DPA bisa menginformasikan ke PLT,” imbuhnya.

Dalam acara ini, 2 narasumber yang memberi materi yakni Anindya Nastiti Restuviani dari DEMAN sekaligus Program Director of Jakarta Feminist dan Arnita Ernaul Marbun dari Rifka Anisa. Acara ini dipandu oleh Galuh Tri Pambekti, SEI., MEK. Arnita Ernaul Marbun dari Rifka Anisa dalam paparannya menjelasakan bahwa kekerasan seksual merupakan segala tindakan maupun perkataan yang berkonotasi seksual. Hal ini sering terjadi di lingkungan kampus baik dalam relasi dosen mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, atau lainnya.

“Fakta kekerasan seksual di kampus dialami lebih banyak mahasiswa dan dilakukan oleh sesama mahasiswa, Pelaku kakak tingkat, ketua/koordinator, staf, dosen atau alumni. Korban seringkali tidak berani langsung bercerita atau mengadu. Korban memilih untuk berhatan pada situasi demi keamanannya,” jelasnya. Ia juga menyarankan bahwa dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kebijakan kampus dalam perspektif korban.

Anindya Nastiti Restuviani juga menyampaikan beberapa hal dalam konteks kekerasan seksual menjelaskan bahwa isu kekerasan seksual bukan hanya isu Perempuan tetapi juga isu laki-laki. Kedua, kita bisa melihat bagaimana masyarakat Indonesia secara umum masih mengimani nilai-nilai patriarki. Berdasarkan survey yang dilakukan oleg Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) selama pandemic Covid-2019 di Indonesia pelecehan seksual di ruang publik dengan tingkat pelecehan tertinggi yakni di jalanan, kawasan pemukiman, transportasi umum, toko/mall pusat perbelanjaan. Korban dalam hal ini bisa mencari pertolongan kepada pihak ketiga termasuk lembaga dan lainnya. Dalam hal ini di UIN Sunan Kalijaga, pelecehan dan kekerasan seksual bisa dilaporkan ke PLT. (tri)