MODERASI BERAGAMA: Pandangan Dunia dan Perspektif Nahdlatul Ulama
Oleh: Umaruddin Masdar Koornas DENSUS 26 & Pengasuh Majlis Zikir HAYATAN THOYYIBAH
Allan S Samson dalam buku Political Power and Communications in Indonesia (1978: 198) menyebut bahwa Nahdlatul Ulama adalah kelompok keagamaan yang sangat adaptif, fleksibel, akomodatif dan moderat. Ini berbanding terbalik dengan kelompok keagamaan modern yang justeru kaku dan rigid. Dan sampai hari ini NU tetap menunjukkan diri sebagai organisasi yang moderat, berjalan terus dalam jalur moderasi yang dinamis. Mengapa NU bisa konsisten di jalur moderasi berbagama dan juga dalam kehidupan sosial politik lainnya?
Pandangan Serba Fiqih
Radikalisme Islam yang termanifestasi dalam pemikiran (fundamentalisme) dan tindakan (terorisme) berakar pada pemikiran keagamaan yang skriptural. Dimensi humanitarian ajaran agama dan konteks kesejarahan yang melingkupinya dikesampingkan, sehingga keberagamaan menjadi rigid dan keras.
Nalar keagamaan NU mengikuti tradisi pemikiran mazhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam tidak digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui pemikiran ulama mazhab. Dengan demikian, pemikiran NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Quran dan Hadis.
Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalil-dalil syar’i, yaitu al-Quran dan Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha asy-syar’iyyah). Definisi ini, menurut Abdurrahman Wahid (1985), secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al-Quran dan Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia.
Fiqih adalah produk kreativitas intelektual ulama, karena itu dengan sendirinya akan ada bermacam-macam mazhab fiqih. NU sendiri menganut empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i dan Hanbali. Kesediaan untuk bermazhab kepada lebih dari satu aliran pemikiran dengan sendirinya merupakan kesadaran total untuk menempuh jalan moderasi dan menerima pluralitas. Tidak heran jika NU seperti ditunjukkan dalam sejarah bangsa ini sangat moderat, toleran dan menghidupkan pluralitas.
Tradisi berfikir serba fiqih adalah tradisi untuk berbeda pendapat. Karena di dalam pandangan fiqih, seperti terdokumentasi dalam kitab-kitab yang mu’tabar, para ulama mazhab mentradisikan diri untuk berbeda pendapat sesuatu dengan perspektif, konteks dan lokalitas masing. Di sini lah moderasi beragama dibangun secara sadar dan kokoh serta menyatu dengan pandangan dunia yang menyatu dengan kebutuhan lokal.
Sebagai contoh, Munas Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992 memutuskan hukum bunga bank ada tiga. Pertama, pendapat yang mempersamakan bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram. Kedua, pendapat yang mengatakan bunga bank tidak sama dengan riba, sehingga hukumnya mubah. Dan ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumnya syubhat. Dalam kasus ini, cara berfikir serba fiqih menunjukkan bahwa tidak ada pendapat yang Tunggal tentang suatu malasah, sehingga monokulturalitas dan rigiditas bisa terhindarkan.
Ushul Fiqih dan Kaidah-kaidah Fiqih
Moderasi beragama NU pada level kedua termanifestasi pada cara pandang yang berbasis usul fiqih atau kaidah-kaidah fiqih (al-qawaid al-fiqhiyah). Ketika fiqih tidak bisa menjawab, maka usul fiqih dan kaidah fiqih memberi ruang yang sangat luas kepada NU untuk tetap berada pada jalur moderasi dalam kehidupan keagamaan, sosial dan politik kebangsaan.
Pemikiran radikal berusaha memurnikan ajaran Islam dari tradisi dan budaya masyarakat yang dianggap tidak menyimpang dan sesat, maka teori-teori hukum (ushul al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qawaid fiqhiyyah) memungkinkan agama hidup berdampingan dan menyatu dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Dengan sentuhan tradisi dan budaya, agama menjadi lebih membumi, dinamis dan tanggap dengan kepentingan kemanusiaan yang bersifat lokal dan aktual.
Dalam pandangan fiqih NU, hukum rokok ada bermacam-macam. Ada yang menyebut haram, makruh, mubah dan sebagainya. Tapi ada situasi di mana rokoh bisa berubah hukumnya. Misalnya ada kiai NU yang berpendapat: jika karena merokok santri menjadi sakit, batuk-batuk dan tidak sehat sehingga dia tidak bisa belajar atau mengaji, maka rokok menjadi haram. Tapi jika tidak merokok menjadi ngantuk, loyo, tidak semangat untuk mengaji, maka rokok menjadi wajib. Dengan kaidah al-hukm yaduru ma’al illah, cara pandang NU bisa tetap moderat. Kekakuan dan mutlak-mutlakan bisa terhindarkan.
Pandangan Tasawuf
Moderasi level ketiga dari pandangan dunia Nahdlatul Ulama adalah pandangan sosial keagamaan yang berbasif tasawuf. Pandangan ini melihat individualitas, realitas dan lokalitas dengan sisi dan visi yang positif, yang dalam bahasa agama disebut pandangan rahmaatan lil alamin. Atau dalam istilah lain yandzurunal ummah bi ‘ainir rahmah.
Ketika fiqih tidak bisa menjawab, ushul fiqih dan kaidah fiqih juga mengalami kebuntuan, maka pandangan tasawuf memungkinkan dan memastikan NU untuk tetap dalam jalur yang moderat. Dinamika peradaban Islam tradisional selama ribuan tahun telah membentuk suatu tradisi berpikir moderat yang mapan yang puncaknya ada para cara pandang tasawuf ini.
Dulu di NU ada ulama yang dianggap nyleneh, nama KH Chamim Djazuli yang akrab dipanggil Gus Miek. Beliau dikenal aktif berdakwah di dua kehidupan. Yang pertama kehidupan “normal” yaitu lewat seaman al-Quran dan ceramah-ceramah keagamaan. Yang kedua kehidupan malam di diskotik, night club, kafe-kafe dan persinggahan orang-orang tuna Susila. Gus Miek di dunia malam itu akrab dengan seluruh penghuninya bahkan minuman bir hitam menjadi hidangannya bersama mereka.
Apakah Gus Miek menjalani kehidupan yang kontradiktif? Ternyata tidak. Karena menurut Abdurrahman Wahid (1999: 90-91), di dua dunia kehidupan itu Gus Miek berperan sama: memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberi harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, memberi semangat kepada mereka yang putus asa, mendampingi mereka yang lemah dan mengajak semua pada kebaikan.
Itulah cara pandang tasawuf yang selalu melihat kebaikan dan sisi positif dari kejadian dan berbagai dimensi kehidupan yang rumit. Dan cara pandang tasawuf seperti ini memungkinkan NU tetap dalam dinamika pergerakan yang moderat, terhindar dari radikalisme dan pada akhirnya bisa memberi solusi atas berbagai persoalan dan situasi yang rumit dalam kehidupan masyarakat dan kebangsaan.***