Sebagai generasi penerus bangsa, pemuda dituntut untuk berperan aktif sebagai alat kontrol sosial dalam segala aspek pembangunan nasional terlebih di era digital. Berkaca dari hal tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Seminar Series yang bertajuk The Role of Muslim Youth for Strengthening Diversity in Southeast Asia pada Kamis (02/12) pagi. Dengan mengundang Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D. (Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga) dan Achmad Uzair, S.IP., M.A, Ph.D. (Sespri Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI) sebagai narasumber, kegiatan ini dipandu oleh Siti Muna Hayati, M.H.I. (Anggota Pusat Studi MoGA). Seminar series yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa dari dalam dan luar lingkungan FISHUM, dilaksanakan secara daring yang disiarkan langsung dari Studio FISHUM melalui platform Zoom Meeting dan Live YouTube.
Agus Saputro, M. Si selaku ketua panitia menyampaikan bahwa pemuda sebagai agent of change tentu memiliki peran yang besar dalam segala aspek pembangunan nasional. Beliau menengok bahwa digitalisasi yang ada pada saat ini menjadi boomerang tersendiri bagi para pemuda. “Indonesia menduduki peringkat pertama dengan persentase 80% penggunaan internet terbanyak di kawasan Asia Tenggara. Hal ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, apakah pemuda menjadi salah satu sumbangsih adanya hoax di media digital atau sebaliknya?” papar Agus.
Sambutan selanjutnya sekaligus membuka kegiatan Seminar Series: The Role of Muslim Youth for Strengthening Diversity in Southeast Asia disampaikan langsung oleh Dekan FISHUM, Dr. Mochamad Sodik, S. Sos., M. Si. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa pemuda memiliki peran penting dalam kebhinekaan, persatuan, dan kesatuan suatu bangsa yang otentik berdasar religiusitas dan kekuatan lainnya. Selain itu, beliau berpesan kepada pemuda untuk saling asih, asah, dan asuh dalam membangun spiritualitas dan kemanusiaan. “Merawat perbedaan dapat menguatkan nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Hal ini menegaskan bahwa merawat kebhinekaan adalah seni, dan keterlibatannya bersifat keharusan,” pesannya.
Selanjutnya, pemaparan materi sesi pertama disampaikan oleh Achmad Uzair, S.IP., M.A, Ph.D. Dalam paparannya, Uzair menyampaikan bahwa keberagaman di Asia Tenggara adalah yang paling banyak dibanding negara-negara lain. “Keragaman masyarakat yang ada menunjukkan adanya dividen diversity,” timpalnya. Beliau juga menjelaskan bahwa keragaman juga menunjukkan 2 sisi yang bertolak belakang, di satu sisi ia berperan sebagai modal berkembang untuk maju dan sisi lainnya menjadi sebuah tantangan. “Wilayah Asia Tenggara merupakan bagian dari warisan kolonialisme baik dari segi pengalaman, sistem pemerintahan, budaya, dan birokrasi. Sehingga keragaman menjadi tantangan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif”, tambah Uzair.
Materi sesi kedua disampaikan oleh Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D. Pada kesempatan ini, beliau memaparkan tentang pentingnya moderasi beragama dalam menciptakan masyarakat yang inklusif. Selain itu, beliau juga menyampaikan 9 kunci moderasi beragama yang berguna untuk menghindari prejudis sehingga keberagaman yang ada dapat diakui dan diterima. Kegiatan seminar series diakhiri dengan sesi diskusi yang sangat interaktif dari peserta seminar.
Sementara itu, Ui Ardaninggar Luhtitianti, M.A. selaku Ketua Moslem Global Affair Institute sekaligus dosen Prodi Sosiologi juga berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat mensukseskan acara ini. Beliau merespon baik beberapa catatan-catatan dari narasumber untuk MOGA kedepannya dalam melibatkan anak muda. “Mudah-mudahan ini menjadi motivasi bagi mahasiswa kami dan menjadi program lanjutan kedepannya,” jelasnnya. (nabila/tim kreatif)