Penguatan Civil Society Muslim di Era Disrupsi

Dulu masyarakat petani yang di puja ialah Dewi Sri atau dewi padi. sedangkan menurut kalian, di era hari ini yang dipuja ialah kuota. Kondisi seperti ini dalam bahasa Sosiologi disebut sebagai subjektifitas. Subjektifitas di era sekarang ini menjadi sangat kuat. FrancisFukuyama menyebutnya sebagai The Great Disruption,”. begitulah penjelasan yang diberikan oleh Dr. Muryanti selaku moderator dalam seminar series (14/09/2018).

Penjelasan ini merupakan pembuka dari seminar series yang berlangsung di Interactive Center Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga (14/09). Kegiatan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Dies Natalis FISHUM yang ke-13. Mengangkat tema Penguatan Civil Society Muslim di Era Disrupsi, seminar kali ini terlihat menarik. Apalagi, tema ini sesuai dengan keadaan yang dihadapi oleh mahasiswa sebagai peserta seminar, yakni juga sebagai generasi milenial.

Dr. Sulistyaningsih, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dalam sambutannya menjelaskan bahwa tema ini diharapkan mampu menjadi pencerahan bagi mahasiswa. “3 tujuan utama pengangkatan tema ini ialah menumbuhkan kesadaran terhadap tantangan dan peluang era disruption, merumuskan alternatif solusi terhadap dampak negatif era Disruption bagi umat Islam dan yang terakhir memperkuat peran civil society Muslim dalam menghadapi era hari ini,” tuturnya.

Seminar series kali ini diisi oleh 3 narasumber. Narasumber yang pertama ialah Prof. Dr. Purwo Santoso Dosen Fisipol UGM, Dr. Mochamad Sodik,. S.Sos., M.Si. Dekan FISHUM UIN Sunan Kalijaga dan yang ketiga ialah Nur Faizin, S.Sos., M.A. ketua IKA FISHUM. Namun karena beberapaa halangan, Nur Faizin, S.Sos., M.A. tidak bisa menghadiri seminar series kali ini.

Menurut Prof. Dr. Purwo, era hari ini merupakan era di mana proses penciptaan makna berubah secara drastis. Hal ini disebabkan oleh adanya kecanggihan teknologi informasi yang sangat cepat. “Teknologi bisa kita gunakan sebagai inovasi. Namun meskipun begitu, teknologi informasi juga membawa gejolak. Pada saat yang bersamaan, Disruptif artinya ialah adanya kompleksitas. Kemampuan kita untuk memaknai secara positif,” jelasnya. Menurutnya, sisi negatif dan positif tetap dimiliki di era kecanggihan teknologi informasi.

“Maka kearifan menjadi penting. Kemampuan kita untuk bisa bijaksana,” imbuhnya lagi. Menurutnya, apabila masyaratak termakan oleh teknologi dan tidak bisa memanfaatkannya, maka yang terjadi ialah teknologi menjadi sisi negatif dalam kehidupan. “Kita hidup di era Post Truth Society, di mana kebenaran tidak bisa semata-mata bisa digunakan sebagai Judgment. Sisi lain dari Post Truth Society ialah ada kemampuan alat yang bisa mengawasi kita secara seksama,” tuturnya lagi.

Bagi masyarakat muslim, era seperti ini juga menjadi sebuah tantangan. Apalagi dalam hal beragama. Politik identitas yang semakin menguat, juga hasil dari kecanggihan teknologi itu sendiri. Mesrespon era hari ini, masyarakat muslim seharusnya memiliki kemampuan untuk leading (memimpin), berkompetisi dan beradaptas. Ia juga menambahkan bahwa problem kita beragama yakni bagaimana kita mengaitkan ketiga ini, yakni Aqidah, Syariah dan Ahlaq. Maka lembaga pendidikan harus menjadi pencagihan dalam bidang Pendidikan Kewarganegaraan.

Dr. Mochamad Sodik, menjelaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga berusaha merespon era ini dengan menerapkan nilai-nilai. UIN Sunan Kalijaga memiliki 6 nilai yang menjadi Core Value yakni Integrasi-Interkoneksi, Dedikasi-Inovasi dan inklusif-continuous improvement. Prinsip strategis Era Disrupsi menurut Dekan FISHUM ialah harus mempersiapkan fondasi spiritualitas, rumuskan visi misi hidup yang kuat, orientasikan jangka pendek, menengah dan panjang.

“Pendidikan bukan sekedar learning to know atau belajar untuk tahu dan learning to do tetapi harus juga learning to be, learning to live together, belajar untuk mampu menghargai sesama dan yang paling berat untuk dilaksanakan ialah mentransformasikan diri dan berinteraksi dengan masyarakat,” jelas Dekan FISHUM. (tri)