Seminar Series The Path to Decoloniality: Finding It’s Role and Potential in Southern Muslim Countries
Sesi Foto Bersama
Dekolonialisasi yang kini merupakan sebuah topik besar terlebih lagi objektifitas dan subjektifitas kajian-kajian barat tentang timur perlu ditelisik lebih dalam dengan cara lain untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Menanggapi hal ini, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan Seminar Series The Path to Decoloniality: Finding It’s Role and Potential in Southen Muslim Countries. Acara yang berlangsung di Interactive Center FISHUM (05/07/2022) serta disiarkan melalui platform Zoom Meeting.
Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si. selaku Dekan FISHUM menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya seminar ini dan juga berharap agar seminar dapat membawa manfaat dan motivasi. “Kita bangsa yang ingin terus maju mempunyai kekuatan untuk berbicara masa kini dan masa depan, saya kira narasumber memiliki pengalaman yang menjadi motivasi membangun peradaban yang egaliter, bermakna, dan percaya diri sebagai bangsa,” tuturnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dr. Phil. Sahiron, M.A. Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga,dalam sambutannya beliau menjelaskan bahwa diperlukan adanya keseimbangan objektifitas kajian untuk mewaspadai adanya penjajahan baik dari bentuk fisik maupun non-fisik. ada. “Ada satu critical analysys, seberapa subjektifitas ada didalamnya. Hasil penelitian itu, seberapa jauh konten yang sangat subjektif dan seberapa besar objektifitas penelitian itu. Atau dengan kata lain It’s is impossible to be objective in one hundred percent dimana ada kemungkinan meredup subyektifitas sebagai peneliti ketika kita menilai dan melihat sesuatu. Perpektif colonial mengakibatkan das sein atau realita tidak terkuak secara optimal, karena dipengaruhi kepentingan colonial. Mendirikan pandangan dunia orang barat bahwa timur jauh lebih kecil dari pada barat. Dan perlu diketahui bahwa subyektifitas ini mempengaruhi penelitian,” jelasnya.
Hadir Yus Sa’diyah Broersma sebagai narasumber pertama, menjelaskan bahwa decoloniality adalah topik besar di masa sekarang, dimana faktanya ada tuntutan besar dari Eropa yang mendikte kita untuk melakukan sesuatu dan mendapatkan keuntungan dari kita serta merusak lingkungan kita hanya untuk kepentingan pribadi mereka. Beliau menyampaikan bahwa kita sebagai bangsa masih diatur oleh matriks kekuasaan colonial, dan diperlukan adanya start dengan menemukan pengetahuan dan kearifan lokal. “the knowledge that we have prior the colonialism is being remove. Every manuscript is knowledge, and its removed,” tegasnya.
Sementara itu, Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., M.A. menambahkan bahwa wacana decolonial hampir tidak ada, atau sejauh ini tidak diterima dengan baik di negara-negara muslim Asia Tenggara, yang disebabkan karena perbedaan sifat penjajahan Inggris dan Belanda, orang-orang muslim fokus pada islamisasi negara, masyarakat, dan pengetahuan daripada dekolonialisasi, ketergantungan berlebihan pada cara global menuju modernitas, dan sentrisme pengetahuan euro amerika.
Hadir pula sebagai pembicara ketiga Ahmad Norma Permata, S.Ag., M.A., Ph.D. yang menyampaikan mengenai gagasan tentang dekolonialisasi merupakan sebuah keniscayaan sebagai proses alami karena proses pemberdayaan yang dialami oleh masyarakat atau bangsa bangsa postcolonial. “Sebelum perempuan berdaya, tidak ada sejarah perempuan. Sekarang ketika perempuan, digali sejarah perempuan dari berbagai aspek karena perempuan memerlukan legitimasi eksistensi demikian juga dengan sebuah bangsa”, jelasnya.
Terkahir, beliau menyimpulkan bahwa Bangsa Indonesia tidak sekedar mengadopsi seperti yang dikatakan kajian masa lalu. “Indonesia mendomestikasi dilihat dari fakta bahwa 5 sila Pancasila bukanlai sudara yang akur melainkan lima sila tersebut merupakan ideologi dunia yang bermusuhan. Ketuhanan dari teokrasi, kemanusiaan dari komunisme, dan keadilan sosial dari aliran sosialisme. Maka inti Pancasila adalah sila ketiga. Ideologi politik dunia didomestikasi menggunakan kecerdasan leluhur pra india. Bagaimana agama agama dunia yang ditempat lain hanya bisa berdiri sendiri, sementara agama di Indonesia hidup berdampingan di posisi yang setara,” tutupnya. (Tia-tim kreatif)