FISHUM dan BRIN Adakan Diskusi Terkait Strategi Pembiayaan Risiko Bencana di Indonesia

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kallijaga bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melaluiOrganisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (ORTKPEKM) mengadakan diskusistrategi baru pembiayaan risiko bencana untuk mengurangi beban dana publik dengan melibatkan pihak swasta dan masyarakat pada Selasa, (7/5). “Risiko bencana di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2023 jumlah kejadian bencana terbanyak di Jawa Barat yaitu 891 kejadian, disusul Jawa Tengah 662 kejadian bencana, dan Kalimantan Selatan 551 kejadian,” jelas KepalaORTKPEKM BRIN, Agus Eko Nugroho.

Menurut Agus, kapabilitas menabung masyarakat Indonesia dan rasio pembiayaan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih rendah. “Pencadangan dana tidak terduga menjadi bagian dari kemampuan fiskal daerah dalam mempersiapkan diri. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dalam memperkuat fiskal daerah dalam mengantisipasi pembiyaan risiko bencana,” tambah Agus.

Dengan adanya keterbatasan dana publik yang dimiliki pemerintah ia menyebut perlunya memperkuat peran alternatif pembiayaan agar mampu memberikan kontribusi yang signifikan dengan melibatkan swasta dan masyarakat.

“Penanggulangan bencana perlu melibatkan banyak stakeholder, pemerintah tidak bisa menjadi tulang punggung satu-satunya dalam melindungi masyarakat dari risiko bencana. Skema kebencanaan perlu didesain untuk kemudahan aset, transparan, dan lain-lain,” ujar Agus.

Ia mencontohkan hasil riset BRIN pasca gempa Cianjur 2022 yang menunjukkan jumlah perempuan usia produktif memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam skema asuransi kebencanaan. “Peningkatan produktivitas masyarakat perlu dilindungi dari berbagai guncangan dan potensi kerugian akibat berbagai bentuk kebencanaan,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Rektor UIN Sunan Kalijaga Al Makin. Dia mencontohkan teori kemitraan dalam aspek keterlibatan pasar dan pemerintah. Ia mendorong kemitraan multi pihak untuk membangun setelah bencana terjadi. “Dana publik sangat penting bukan hanya pemerintah tetapi juga sektor swasta yang sudah sukses,” papar Makin.

Dalam kesempatan ini, Shigenori Ishida pakar asuransi dan jaminan sosial Kansai University Jepang memaparkan skema pembiayaan bencana yang berlaku di Jepang. “Asuransi gempa bumi di Jepang terdiri dari reasuransi pemerintah atas kerusakan akibat gempa yang melebihi jumlah asuransi gempa bumi yang dikeluarkan perusahaan asuransi swasta. Tujuannya memberikan kontribusi terhadap stabilitas kehidupan masyarakat yang terkena dampak gempa bumi dan bencana lainnya,” jelasnya.

Ishida menyarankan agar Indonesia mengembangkan kolaborasi horizontal melalui kerja sama internasional yang berpusat pada negara-negara Asia, dana bersama dan reasuransi, serta pertukaran informasi untuk membangun sistem pengendalian kerusakan dan menggalang dana setelah terjadi bencana.

Sementara itu, Cynthia Clarita Kusharto selaku Financial Sector Specialist Proyek DRFI Indonesia - World Bank menekankan prinsip-prinsip pembiayaan risiko bencana. “Kita perlu memperhatikan ketepatan waktu pendanaan, bagaimana uang sampai ke penerima manfaat sama pentingnya dengan dari mana uang itu berasal, pencairan dana, lapisan risiko bencana karena tidak ada satu instrumen keuangan pun yang dapat mengatasi seluruh risiko, dan untuk membuat keputusan keuangan yang baik kita perlu memiliki informasi yang benar,” tegas Cynthia.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas BRIN Alie Humaedi menyampaikan perlunya keterlibatan para perantara budaya dalam elemen kolaborasi risiko bencana sebagai penghubung pemerintah dan swasta terkait isu-isu tertentu seperti kebencanaan. Selain itu, menurutnya modal sosial perlu diperhitungkan dalam pembiayaan kebencanaan.

“Konsep asuransi bencana perlu memiliki sensitivitas pada situasi keberagaman sosial dan kultural masyarakat Indonesia. Pada kelompok masayarakat perdesaan misalnya, mungkin alternatif asuransi konvensional tidak sesuai sehingga lumbung pangan atau konsep kebudayaan lain perlu dipertimbangkan,” saran Alie.

Selain itu, Mercy Corps mengingatkan kembali isu bencana akibat perubahan iklim yang belum mendapat banyak perhatian dalam skema pembiayaan risiko bencana. Demikian halnya dengan YAKKUM yang banyak bergerak bersama kelompok perempuan dan disabilitas menegaskan perlunya proses inklusi kelompok perempuan dan disabilitas dalam kontek pembiayaan risiko bencana.

Periset dari Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Purwanto dalam kesempatan tersebut menyampaikan kesimpulan perlunya mendorong percepatan penyusunan roadmap strategi pembiayaan level nasional dan daerah terkait risiko bencana; sinergi pembiayaan risiko bencana dengan melibatkan peran swasta, lembaga filantropi, dan masyarakat; serta memperkuat jejaring pembiayaan risiko bencana.

Roundtable Networking Discussion ini juga melibatkan Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Iwan Pasila; Kepala Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan Irwanda Wisnu Wardhana;KepalaPokja Pembiayaan Risiko Bencana, Badan Kebijakan Fiskal,Kementerian KeuanganRita Helbra Tenrini; Walikota Palu Hadiyanto Rasyid;; Asian Development Bank Institute (ADBI); Badan Amil Zakat Nasional (Baznas); PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero); PT Jasindo; PT Cikarang Listrindo Tbk; LSM; dan para akademisi beberapa kampus.(Sumber: Humas BRIN)

Baca selengkapnya